Tasawuf Muhammadiyah: Sufi Berkemajuan

Umsida.ac.idSalah satu kekhasan Muhammadiyah dibandingkan dengan organisasi keagamaan lain, adalah pada metode keagamaannya (manhaj). Dalam konteks ini Muhammadiyah memiliki manhaj tersendiri yang mendiferensiasi Muhammadiyah dengan yang lainnya, baik dalam konteks ideologi, teologi, fiqih, bahkan tasawufnya. Poin terakhir ini yang akan menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini.

Sebagai sebuah organisasi keislaman, Muhammadiyah memiliki seluruh perangkat yang kemudian bisa dijadikan sebagai pegangan dalam seluruh gerak batiniah dan lahiriahnya. Hanya dengan cara berpijak pada manhaj gerakannya, Muhammadiyah mampu terus menampilkan wajah Islam Berkemajuan yang berkontribusi untuk membangun umat, bangsa, dan peradaban.

Isi Manhaj Muhammadiyah

Manhaj Muhammadiyah ini berisi seperangkat pokok pikiran dan gagasan yang tersistematisasi sebagai sistem keyakinan, pemikiran, dan tindakan. Manhaj ini berisi prinsip-prinsip ideal serta cara untuk mewujudkannya dalam kehidupan yang dihadapi Muhammadiyah (Haedar Nashir, pengantar Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2009).

KH Ahmad Dahlan telah memberikan fondasi manhaj ber-Muhammadiyah yang terus disempurnakan pada periode selanjutnya. Disebut sebagai manhaj karena merupakan sistematisasi dari pandangan atau perspektif tertentu yang landasan dan pusat orientasinya berangkat dari ajaran Islam, untuk diaktualisasikan dalam kehidupan melalui kelembagaan. Manhaj ini menjadi dasar gerakan Muhammadiyah.

Pada 1927, Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih, sebuah lembaga yang bertujuan untuk menggali dan merekonstruksi paham keagamaan. Setahun kemudian, Muhammadiyah merintis rumusan al-masail al-khamsah yang disempurnakan pada tahun 1954/1955. Lima pandangan mendasar tentang ajaran Islam dalam pandangan Muhammadiyah ini berupa konsep mendasar tentang: agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas (ijtihad).

Tahun 1946, dirumuskan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang memunculkan diksi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Nilai luhur Islam diharapkan ikut membingkai dan menjiwai kehidupan manusia. Tahun 1969, lahir Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.

Pada aspek strategi perjuangan, dirumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1969, 1971, 1978, dan 2002. Dalam Khittah 2002, disebutkan bahwa perkara politik merupakan al-umur al-dunyawiyah yang harus diurus dengan baik berdasar akhlak islami.

Lihat juga: Refleksi Akhir Tahun, Ujian Keberpihakan Kita pada Kebenaran: Bebaskan Palestina

Pemikiran resmi lainnya yang bersifat ideologis berupa: Dua Belas Langkah Muhammadiyah (1938), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005), dan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010) yang menegaskan tentang agenda pencerahan.

Pada muktamar 2015, Muhammadiyah menerbitkan tiga dokumen penting: (1) Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa al-Syahadah, (2) Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna, (3) Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.

Ideologi reformis Muhammadiyah selain yang disebut di atas, juga terkandung dalam produk pemikiran kelembagaan lainnya, semisal hasil Musyawarah Nasional Tarjih tentang manhaj tarjih dan paradigma tajdid, konsep Dakwah Kultural, Keluarga Sakinah, serta Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah.

Dari berbagai kemajuan di atas, terdapat anggapan yang terdapat di masyarakat, yakni salah satu aspek dalam keagamaan yang secara umum sering disematkan kepada Muhammadiyah karena minim perhatian adalah pada spiritualitasnya. Anggapan orang, meski Muhammadiyah telah memberikan berbagai turunan manhaj seperti tertulis di atas, mamun pada aspek spiritualitas nya, tidak ditonjolkan atau bahkan disebut tidak ada, yakni apa yang terangkai dalam tasawuf.

Namun dalam hal ini, justru Muhammadiyah telah menunjukkan spiritualitasnya tanpa harus menyebut istilah spiritual dalam konteks keilmuan tasawuf. Lalu, bagaimana Muhammadiyah memandang tasawuf?

Hal yang perlu diketahui, bahwa tanpa disadari, Muhammadiyah memiliki kekhasan dalam bertasawuf.

Mendudukkan Tasawuf: Berihsan sebenar-benarnya

Bagi orang yang tidak mengenal Muhammadiyah, boleh jadi akan memperolok Muhammadiyah sebagai paham yang kering akan spiritualitas. Namun, juga boleh jadi memang ada orang Muhammadiyah sendiri yang tak mengenal tasawuf, akan memperolokkannya sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman, atau melecehkannya sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, tasawuf sudah sewajarnya bahkan seharusnya masuk museum sebagai barang antik, atau ditinggalkan begitu saja sebagai kenang-kenangan manis dari masa lampau.

Berbagai anggapan tersebut bisa dipahami. Pertama, karena pada umumnya memang belum mengetahui apa itu tasawuf. Kedua, kalaupun sedikit banyak mengetahuinya, pengetahuan kita umumnya terpotong-potong, tidak tuntas dan kurang atau tidak mengerti bagaimana hubungan tasawuf dengan kajian islam lainnya. Bahkan banyak di antara kita yang tidak tahu bahwa tasawuf adalah salah satu ilmu dalam Islam, sebagaimana ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu balaghah dan lain-lain.

Apa yang perlu dipahami adalah bahwa tasawuf bukan sebuah paham global oleh sekelompok orang yang disebut para sufi tentang kehidupan ini. Ia bukan sebuah isme, sehingga tasawuf disamakan begitu saja dengan sufisme yang merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris sufism. Istilah ini bisa menyesatkan. Kita pun menolak penggunaan Muhammadanism sebagai ganti dari Islam karena hal yang sama.

Lihat juga: Dunia Sudah Terbalik, Hukum Bisa Dimanfaatkan

Di dalam Al-Quran jelas sekali ditegaskan, bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia tak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia itu kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Al-Adzariat: 56). Namun kemudian juga ditegaskan dalam ayat yang lain bahwa beribadah kepada Allah itu haruslah dilakukan dengan penuh keikhlasan. “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan.” (QS Al-Bayyinah, 5).

Dalam konteks tersebut, ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama, aktivitas ibadah yang mencakup segenap perilaku dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan tuntunan Ilahi dan merupakan keharusan bagi kita semua. Kedua, aktivitas ikhlas yang merupakan mutu dan nilai yang diharuskan bagi ibadah itu sendiri. Dengan kata lain, aktivitas ikhlas merupakan gerak batin dari kehidupan yang sama. Di satu pihak ada gerak dan aktivitas lahiriah, dan di pihak lain ada gerak dan aktivitas batiniah. Keduanya tidak boleh dipisahkan satu sama lain, dan harus merupakan kesatuan yang kompak dan harmonis.

Iman, Islam, dan Ihsan

Tasawuf Muhammadiyah: Sufi Berkemajuan

Sementara itu, sunnah Rasulullah menyebutkan bahwa di dalam Islam ada tiga komponen penting yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Iman yang merupakan aqidah adalah keyakinan akan Allah, rasul-Nya dan lain-lain sebagaimana terinci dalam rukun iman, menjadi pegangan hidup dan tempat bertumpu, hingga seseorang merasa sanggup dan tangguh menghadapi segenap problem dan guncangan kehidupan. Dengan iman seseorang jadi merasa yakin bahwa hidupnya memang berarti dan tidak sia-sia serta memang layak untuk ia jalani dengan seksama dan sebaik-baiknya. Dari komponen Iman yang merupakan aqidah inilah muncul ilmu yang disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam.

Dengan iman saja yang merupakan aqidah, keyakinan dan pegangan hidup yang kuat ternyata belum cukup untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan. Manusia harus terus menerus menghadapi segenap problema dari realitas sehari-hari yang serba kompleks. Untuk itu diperlukan kecakapan, ilmu dan aturan-aturan dalam mengatasi dan menyelenggarakan hubungan-hubungan kehidupan, baik hubungan antar manusia, maupun hubungan dengan sang Pencipta dan alam semesta. Ilmu dan aturan ini yang merupakan syariah tidak lain adalah Islam, yang terinci dalam rukunnya yang lima itu. Dari sinilah nantinya muncul apa yang disebut ilmu fiqh.

Namun manusia ternyata tidak cukup hanya punya keyakinan yang kuat dan tangguh yang merupakan aqidah, sebagaimana juga tidak cukup hanya punya kecakapan, ilmu dan aturan yang ampuh dalam bergulat menghadapi realitas yang merupakan syariah. Itu saja akhirnya akan hanya membuat seorang manusia menjadi semacam mesin. Pada waktu yang sama seseorang juga memerlukan kesanggupan untuk bisa melihat hidup ini lebih dalam. Kesanggupan itu diperoleh dari komponen yang disebut ihsan yang merupakan budi pekerti yang tinggi atau akhlak. Dari sinilah nantinya lahir apa yang kita sebut sebagai ilmu tasawuf.

Jadi, tasawuf (dari akar kata shouf, yang berarti bulu domba atau wool) tidak lain adalah realisasi dari komponen ihsan yang merupakan akhlaq atau budi pekerti yang tinggi. Kalau iman dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai keyakinan kepada Allah SWT, dll, dan Islam sebagai penyaksian dan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya, maka ihsan adalah pengabdian kepada Allah seoalah-olah kita melihatNya, dan apabila kita tidak bisa melihatNya, ketahuilah bahwa Ia selalu melihat kita.

Dari sini bisa kita ambil dua hal: pertama, menyiratkan bahwa dalam ihsan kita beribdah dan mengabdi kepada Allah SWT dengan penuh cinta kasih atau hubb, hingga kita seolah-olah bisa melihatNya. Kedua, menyiratkan bahwa Allah SWT selalu melihat dan mengetahui segala sesuatu yang kita perbuat, hingga kita selalu berada dalam muraqabah atau pemantauan Allah. Kedua-duanya yaitu hubb dan muraqabah merupakan dasar-dasar ilmu tasawuf. Dengan demikian, tasawuf merupakan akhlaq kita dalam berhadapan dengan Khaliq atau sang Pencipta, yang ini sekaligus tarpantul dalam akhlaq kita dengan makhluq-makhluqNya.

Pentingnya akhlaq ini akan nampak dalam ta’rif atau definisi yang diberikan oleh para sufi tentang tasawuf itu sendiri. Bahkan Definisi itu selalu berada di seputar akhlak, baik langsung maupun tidak. Definisi ini tersebar luas di lingkungan kaum sufi sendiri, peneliti, dan sejarawan tasawuf. Salah satu contoh misalnya Syeikh Abu Bakar Al-Kattani (w 322 H) berargumen bahwa tasawuf adalah akhlak maka barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, tentulah akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih hatinya). Dalam risalah Al-Qusyairiyah, dikatakan bahwa ketika Abu Muhammad Al-Jariri (w 311 H) ditanya tentang tasawuf ia menjawab: “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela”

Di dalam al Quran Allah menggambarkan pribadi Rasulullah saw sebagai “mempunyai akhlaq yang mulia,” dan bukan dengan gambaran-gambaran yang lain. Sementara dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa “akhlaknya adalah al-Quran itu sendiri.” Dan Rasulullah saw bersabda, bahwa “saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq.” Mengapa semuanya berujung dan berakhir pada akhlaq? Karena di dalam Islam, akhlak yang tinggi dan mulai tidak bisa dicapai kecuali oleh orang yang mempunyai aqidah yang kuat dan mengetahui serta menjalankan syariah dengan seksama. Tampak jelas bahwa akhlak menempati kedudukan puncak dalam islam. Dan Ilmu yang berurusan dengan itu adalah tasawuf.

Tasawuf Berkemajuan: Pembentukan Pribadi yang Muhsinin

Kembali kepada Ihsan yang mempunyai dua aspek penting: pengabdian yang didasarkan atas cinta kepada Allah, dan perilaku yang senantiasa berhati-hati dalam hidup karena semua berada dalam pemantauan Allah. Kata Ihsan itu sendiri dalam bahsa Arab berasal dari kata kerja ahsana, yang berarti memperbagus atau memperindah suatu perbuatan.

Sebagai ilustrasi berlaku ihsan ini adalah sebagai berikut. Sebuah kursi berfungsi untuk bisa diduduki dengan enak dan nyaman. Kalau sebuah kursi dibuat tidak hanya untuk keperluan tersebut, namun juga ditambah misalnya dengan hiasan warna dan ukiran-ukiran yang sangat bagus dan menawan, maka sang tukang telah melakukan perbuatan ihsan dalam hal ini.

Dalam hal ini diketahui bahwa hiasan warna dan ukiran-ukiran itu tidak punya kegunaan langsung atas fungsi kursi, namun diperlukan untuk memenuhi rasa keindahan yang juga merupakan kebutuhan manusia. “Bisa diduduki dengan enak dan nyaman” adalah batas minimal bagi sebuah kursi, dan hiasan warna dan ukiran-ukiran itu merupakan nilai tambah yang melampaui batas minimal tadi. Nilai tambah itu dilakukan tidak lain karena ada rasa cinta akan keindahan. Dan sumber keindahan itu tak lain adalah Yang Maha Indah, yaitu Allah SWT.

Contoh lain: Shalat yang diwajibkan dalam Syariah kepada kita adalah lima kali sehari semalam. Ini batas minimal shalat yang harus dipenuhi. Namun, seseorang yang karena cintanya kepada Allah dan rasulNya serta cintanya kepada agamanya tidak hanya shalat yang lima kali itu, melainkan juga shalat-shalat yang lain yang bersifat sunnah, seperti shalat rawatib, salat dhuha, juga shalat tahajud di sepertiga akhir malam. Ia telah melakukan perbuatan ihsan dalam hal ini.

Puasa yang diwajibkan kepada kita hanyalah satu bulan dalam setahun, yaitu selama bulan Ramadhan. Namun seseorang yang karena cintanya seperti tadi, masih menambahnya lagi dengan puasa-puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, puasa Asyura, hari Arafah, dan lain-lain sehingga dengan mudah ia bisa menguasai diri dan jiwanya yang semakin bersih. Ia telah melakukan perbuatan ihsan.

Persentase zakat yang diwajibkan atas harta yang kita miliki tak lebih dari dua setengah persen per tahun. Namun seseorang yang karena cintanya seperti di atas masih dengan senang hati mengeluarkan sedekah yang lebih banyak lagi dari zakat yang telah dikeluarkannya. Semua itu tak lain untuk kepentingan Islam, fakir miskin dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Sahabat Abu Bakar misalnya menyerahkan seluruh hartanya untuk Islam, sahabat lain menyerahkan separuh hartanya, ada yang menyerahkan sepertiga hartanya, ada yang memperlengkapi seluruh pasukan Islam dari kantong pribadinya, dan ada yang membeli sumur dari non muslim untuk kepentingan fakir dan miskin kaum muslimin, dan lain-lain.

Demikian halnya dengan aktivitas dzikirnya yakni mengingat Allah dalam hati, lisan, dan perbuatan. Aktiivtas Dzikir yang semula hanya sesaat, dengan ihsan dilakukan setiap saat. Dzikir lisannya mengagungkan Allah, dengah ihsan dilkukan juga setiap saat tanpa ada ucapan cela sedikitpun bahkan kepada makhluk Allah. Dalam kesendiriannya “bersama Allah” banyak melakukan dzikir lisan yang jumlahnya lebih dari yang disyariatkan. Dizikir dengan perbuatan dalam amal sahalih, dengan ihsan maka tidak hanya perbuatan shalih untuk diri sendiri, namun juga untuk lingkungan, dan orang lain/umat.

Lihat juga: Sejarah Penaklukan Palestina oleh Israel, dan Dunia Pun Tak Berkutik

Itu semua juga perbuatan Ihsan. Jadi bisa dikatakan sebagai melakukan sesuatu melampaui batas minimalnya yang telah ditentukan oleh Syariah, didorong oleh rasa cinta dan ketakwaan yang dalam, dan bahwa Allah swt Maha Mengetahui segenap perbuatan dan tindak-tanduk manusia betapapun kecilnya dan betapapun rahasianya. Tentu semua itu tak lain karena mengharapkan keridhaanNya.

Telah dijelaskan, bahwa ilmu tasawuf yang lahir dari aspek akhlaq dan budi pekerti yang tinggi, tak lain adalah penjabaran dan pengejawantahan dari komponen ihsan. Dan Al Quran menggambarkan orang-orang yang berbuat ihsan atau muhsinin “adalah mereka yang menginfaqkan harta mereka dalam keadaan senang dan dalam keadaan kesukaran, mereka yang bisa menahan amarahnya dan yang memberikan maaf kepada orang-orang. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan” (QS Ali Imron, 134).

Di lain ayat dikatakan, adalah “mereka yang sabar, yang benar dan jujur, yang taat kepada Allah, yang menginfakkan hartanya dan yang beristighfar pada waktu sahur” (QS Ali Imron 17). Menurut al Quran, Muhsinin adalah juga Muttaqin atau orang-orang yang bertaqwa. Allah mencintai para Muttaqin, dan ini Ia nyatakan sebanyak tiga kali dalam al Quran (kata muttaqin keseluruhan 15 kali disebut). Sedangkan kecintaan Allah kepada para Muhsinin dinyatakanNya sampai enam kali (kata muhsinin keseluruhan 30 kali disebut). Muhsinin inilah yang dalam ilmu tasawuf disebut para sufi.

Ihsan dan Pembentukan karakter Muhammadiyin

Kalau sifat-sifat muhsinin atau para sufi itu tak lain adalah menginfakkan harta baik pada waktu senang maupun pada waktu kesukaran, taat kepada Allah, bisa menguasai diri, sabar, benar, jujur, pemaaf dan suka beristighfar pada sepertiga akhir malam, maka semua itu merupakan sifat-sifat yang sangat baik dan terpuji. Sifat dan karakter tersebut merupakan sifat dan karakter yang dimiliki oleh para Muhammadiyin. Orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut tentu saja akan sangat diperlukan untuk masyarakat manapun, terlebih lagi dalam masyarakat modern hingga post modern sekarang ini. Dan tasawuf adalah ilmu islam menempa manusia-manusia dengan kualifikasi sifat-sifat itu.

Percaturan dan pergumulan budaya masyarakat modern makin lama memang semakin majemuk dan kompleks, yang dengan demikian semakin memerlukan manusia dengan sifat-sifat terpuji tersebut. Masyarakat modern sekarang ini semakin memerlukan orang-orang yang benar, jujur dan bisa dipercaya dalam mengemban amanat pekerjaannya. Semakin memerlukan orang-orang sabar, tangguh dan ulet dalam melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab pribadi dan sosialnya. Orang-orang yang mudah menginfakkan hartanya untuk menolong orang lain dan mengentaskannya dari kemiskinan dan kesulitan lainnya. Orang-orang yang tidak suka hidup berhura-hura, suka memberi maaf kepada orang lain, orang-orang yang bisa dengan penuh arif menghadapi hidup ini, hingga hubungan antarindividu dan masyarakat selalu terjaga harmonis. Yang tentunya orang-orang tersebut pada waktu yang sama adalah orang-orang yang taat kepada Allah SWT.

Tak akan ada suatu masyarakat pun yang bisa menolak orang-orang dengan kualifikasi sifat-sifat di atas, kecuali masyarakat yang memang menghendaki kerusakan dan kebejatan. Dan masyarakat modern dan bahkan di era post-modern ini kita sekarang ini, kami yakin masih tetap dan akan selalu menghendaki kebaikan, kesejahteraaan, dan keharmonisan. Peranan tasawuf sebagai ilmu yang menempa manusia ke arah sifat-sifat di atas akan sangat penting dan strategis. Semakin kompleks pergumulan budaya masyarakat modern kita, akan semakin penting pulalah bagi tasawuf untuk semakin meningkatkan tugas dan peranannya.

Jika kita kaji dalam semua manhaj Muhammadiyah, baik dari Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang memunculkan diksi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, bahkan dalam Khittah 2002 disebutkan bahwa perkara politik merupakan al-umur al-dunyawiyah yang harus diurus dengan baik berdasar akhlak islami. Nilai luhur Islam diharapkan ikut membingkai dan menjiwai kehidupan manusia. Dengan demikian, kehidupan spiritual atau mistik Muhammadiyin dilalui dengan bergumul dengan kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi hingga sosial di berbagai kegiatan keseharian dan amal usaha yang merupakan bagian dari latihan kejiwaan/riyadhah yang berat, tunduk pada semua ketentuan Allah SWT, untuk selalu mendekatkan diri secara khusus kepada Allah dengan penuh kecintaan dan keikhlasan.

Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa dalam Muhammadiyah, tasawuf itu telah mendarah daging, meski tanpa menyebut nama tasawuf/spiritualitas/mistik. Karena secara otomatis, Muhammadiyah itu sendiri mengajarkan untuk bertasawuf yang bermakna taqarrub ilallah baik dalam pikiran (pribadi) hingga tindakan nyata (amal usaha), pada semua keadaan, yang dilakukan secara sempurna dalam ihsan: kita semua dalam pantauan Allah SWT.

Kumara Adji Kusuma

(Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo)

Related Posts

Auditor AMI Umsida lakukan Assesment lapangan untuk Direktorat Sistem dan Teknologi Informasi

Direktorat Sistem dan Teknologi Informasi (DSTI) Umsida, menerima kunjungan tim...

Sharing Session Perkuat kolaborasi antar tim DSTI

Pada tanggal 2 Oktober 2024, tim Direkktorat Sistem dan Teknologi...

Sharing Session : Pemanfaatan Git

Pada Kamis, 8 Agustus 2024, Sharing session perdana yang diadakan...